Sabtu, 05 Desember 2009

*) Dari Pemutaran Film HIV/AIDS di Prambors


Dijauhi dan Gelas Habis Digunakan Langsung Dibuang

DISKRIMINASI masih menjadi masalah sosial Odha dengan lingkungannya. Padahal, mereka butuh dukungan hidup.

Arini Nurul Fajar
Mal Ratu Indah

PELATARAN Radio Prambors di lantai empat Mal Ratu Indah (MaRI) masih sepi ketika saya datang pukul 20.00, Jumat, 4 Desember. Sebuah layar berukuran sedang telah terpasang, lengkap dengan perangkat sound system di bagian kanan dan kiri layar.
Beberapa orang panitia pelaksana sibuk mempersiapkan peralatan yang akan digunakan untuk pemutaran film penderita HIV/AIDS dan diskusi publik.
Waktu terus berputar. Pukul 21.30 wita, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan. Mereka lalu mengisi pelataran prambors yang sedikit remang.
Hanya satu lampu yang tergantung tepat di depan pintu masuk yang menyinari area pelataran. Angin malam mulai berembus menyejukkan malam dan titik-titik hujan dari langit mulai turun membasahi orang-orang yang berada di area terbuka itu. Tapi itu tak berlangsung lama, hanya beberapa detik saja.
Kondisi seperti itu juga tak menyurutkan semangat mereka untuk tetap mengikuti pemutaran film yang digelar oleh Global Inklusi Perlindungan HIV/AIDS, Mahasiswa Sosiologi Universitas Hasanuddin, Prambors, dan MaRI.
Pelataran juga mulai dipenuhi para undangan dan duduk di lantai pelataran.
Ada yang menggunakan kertas sebagai pengalas duduk, tapi ada pula yang dengan cueknya langsung duduk di atas lantai pelataran yang masih berlapis semen kasar.
Direktur Global Inklusi Perlindungan HIV/AIDS, Nuraini Geegee Siemens La Husein mengaku sangat mengapresiasi kegiatan pemutaran film itu. "Terima kasih kepada undangan yang telah mau hadir dengan segala keterbatasan dan kekurangan tempat," ujar Geegee, sapaan akrabnya.
Pemutaran film itu diharapkannya dapat menjadi media dan alat advokasi yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya mahasiswa. Orang yang hidup dengan HIV/AIDS tidak untuk dijauhi.
Suara gelegar pun mulai terdengar menandakan pemutaran film dimulai. Dari layar dipertontonkan tentang narkoba, jarum suntik, serta seks bebas yang mulai merambah dan merajalela dengan bebasnya memasuki ruang hidup generasi muda melalui jalur transportasi udara, laut, dan darat.
Ironisnya, peredaran narkoba juga banyak ditemukan pada anak sekolah hingga anak berusia di bawah 17 tahun. Hampir setiap hari narkoba ditemukan dan dimusnahkan. Namun itu belum mampu mengurangi jumlah kematian akibat narkoba, jarum suntik dan seks bebas. Bahkan, yang tak memiliki perilaku menyimpang pun bisa terinveksi virus HIV/AIDS.
Pada pemutaran film kedua, diperlihatkan sosok lelaki asal Bandung yang memiliki orientasi seks yang suka dengan sejenisnya atau kerap disebut gay. Dia seorang penderita HIV/AIDS positif yang terus berusaha memperbaiki dirinya dengan hidup lebih baik.
Film ketiga berisikan komentar para Odha dan keluarganya yang di diskriminasi oleh masyarakat.
Salah satunya perempuan beranak dua yang bercerita tentang pertama kali dirinya dinyatakan positif HIV/AIDS. Masyarakat mulai menjauhinya, hingga ia harus mengasingkan diri ke rumah keluarganya di kampung. "Saya bersyukur, karena meskipun positif terserang virus HIV, tapi suami tak pernah menjauhi. Dukungannya sangat besar dan itu yang membuat saya bertahan," ujar Odha yang sehari-harinya berkebun itu.
Bukan hanya perempuan beranak dua itu yang merasa terdiskriminasi. Seorang lelaki yang juga Odha mengaku sangat merasa terdiskriminasi akibat virus yang menyerangnya. "Masyarakat sekitar rumah mulai menjauhi," keluhnya.
Jangankan untuk mendekati, ujarnya, setelah menggunakan barang-barang mereka seperti gelas, pasti dicuci menggunakan air panas. Mereka juga kadang tidak segan-segan untuk membuang barang-barang itu. "Seakan-akan penyakit yang ada di dalam tubuh saya itu dengan gampang menular," katanya.
Dari pemutaran film itu, banyak kisah di antara mereka yang mengidap virus HIV bukan karena perilaku menyimpang. Beberapa di antaranya juga tertular oleh pasangannya. Tidak sedikit dari mereka terdiskriminasi oleh lingkungannya.
Ketua Umum Keluarga Besar Sosiologi, Unhas, Nasrul Haq, mengatakan tujuan pemutaran film itu tidak lain untuk memperlihatkan masalah status atau hubungan sosial para Odha. "Kami melihat selama ini, Odha bukan hanya masalah fisik atau kesehatan saja, namun ada hubungannya dengan hubungan sosial antara masyarakat yang satu dengan yang lain," tuturnya.
Masalah Odha hampir semuanya sama. Karena penyakitnya, mereka mendapat diskriminasi dari masyarakat atau lingkungannya. Padahal, berkontak secara langsung dengan Odha belum tentu membuat kita tertular," ujar Nasrul Haq.
Dia berharap melalui pemutaran film itu, mahasiswa bisa terbuka pikirannya untuk waspada terhadap virus HIV/AIDS. Virus mematikan itu, imbaunya, harus diwaspadai, karena virusnya bukan hanya dari perilaku menyimpang. Tapi waspada, tegasnya, juga bukan berarti harus mendiskriminasi Odha, karena mereka juga manusia yang membutuhkan dorongan dari keluarga dan lingkungannya.
Acara pemutaran film tentang AIDS itu dihadiri oleh akademisi sosiologi Unhas, Nuvida RAF, S.Sos beserta mahasiswa-mahasiswa Sosiologi dari Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas 45 Makassar, dan Universitas Muhammadiyah (UNISMUH) Makassar.(*)

0 komentar:

Posting Komentar

© aReeNii, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena